Oleh: Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd
Semakin hari kekhawatiran publik satu per satu mulai tampak menjadi nyata. Selain ancaman gelombang pandemi yang perlahan-lahan tiba, ada pula ancaman resesi ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II (Q2) 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen year on year (yoy). 

Angka ini memburuk dari Q1 2020 yang mencapai 2,97 persen dan Q2 2019 yang mencapai 5,05 persen. (Tirto.id) Pertumbuhan ekonomi Q2 2020 ini juga yang terburuk sejak krisis 1998. Waktu itu pertumbuhan Indonesia minus 16,5 persen [sepanjang 1998]. Sementara itu pada Q2 2008 lalu, saat krisis finansial global melanda, Indonesia masih sanggup tumbuh 2,4 persen. Lalu secara keseluruhan sepanjang tahun pada krisis 2008, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 6,1 persen. 

Sentimen domestik seperti penanganan terhadap kasus Covid-19 yang dirasa kurang serius memberikan tekanan pada pergerakan rupiah yang melemah. 

Mengutip Bloomberg, pada perdagangan Rabu (12/8) kurs rupiah tercatat melemah 0,55% ke Rp 14.760 per dolar Amerika Serikat (AS). Sementara itu, pada kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau Jisdor, rupiah ditutup koreksi 49 poin atau 0,33% ke level Rp 14.777 per dolar AS dibandingkan perdagangan hari sebelumnya Rp 14.728 per dolar AS.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, pelemahan kali ini lantaran pasar memandang penanganan pandemi belum dilakukan secara serius. Hal ini tercermin dari angka kasus positif yang tembus hingga 129.000 orang per 13 Agustus 2020.

Melihat kondisi ekonomi yang memburuk Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) berencana akan memberikan bantuan berupa uang tunai atau gaji kepada setiap pegawai swasta. Pemberian bantuan tersebut merupakan salah satu skema dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Selain memberikan uang tunai, pemerintah juga akan menyiapkan tambahan bantuan seperti voucher makanan hingga pariwisata.
 Wacana pemberian bantuan ini muncul sebagai bentuk perluasan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat di tengah pandemi virus corona atau Covid-19.  (Kontan.co.id)

Total subsidi gaji yang diberikan sebesar Rp 2,4 juta/pekerja. Anggaran yang disediakan pemerintah untuk subsidi bantuan Rp 600 ribu tersebut sebesar Rp 33,1 triliun untuk 13,8 juta pekerja. Data ini berasal dari BPJS Ketenagakerjaan yang akan terus divalidasi untuk memastikan tepat sasaran dan meminimalkan terjadinya duplikasi. 

Pemerintah berharap subsidi ini dapat menjaga daya beli dan kesejahteraan pekerja yang terdampak COVID-19. 
Bila kita lihat kebijakan ini, ada hal yang perlu dicermati. Sebagian pengamat menilai bantuan langsung tunai (BLT) untuk pekerja di sektor formal bergaji di bawah Rp5 juta tak mampu mengangkat daya beli masyarakat, terlebih untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman resesi. 

Pengamat Ketenagakerjaan UGM Tadjuddin Nur Effendi menyebut kebijakan sarat diskriminasi ini tidak tepat sasaran. Pasalnya, penopang perekonomian RI adalah pekerja bergaji menengah dan pekerja informal yang tidak terdata. (www.cnnindonesianews.com) 

Dari data penelitiannya, Tadjuddin mengungkapkan bahwa total pekerja Indonesia berkisar di angka 173 juta orang, baik informal maupun formal. Dari total angkatan kerja tersebut, sekitar 20 persen di antaranya bekerja sebagai petani. 

Sehingga, terdata hampir 140 jutaan pekerja yang bekerja di luar sektor pertanian dan hanya 30-40 persen bekerja di sektor formal. Sedangkan, yang akan dibantu oleh pemerintah hanya 13 juta pekerja saja. "Dalam kondisi saat ini program hanya bisa mengungkit, tidak bisa mengangkat (daya beli). 

Dan ini hanya untuk golongan pekerja swasta menengah ke bawah," ucapnya. Ia menilai kebijakan yang diambil pemerintah ini 'asal cepat' saja. Sebab, untuk mendata ulang pekerja informal akan memakan waktu yang panjang. Sementara pemerintah hanya memiliki dua bulan untuk menyelamatkan RI dari resesi.

Namun, Tadjuddin menilai jika dilakukan terburu-buru, kebijakan yang tak matang ini hanya akan menghabiskan anggaran tanpa menimbulkan dampak berarti. Pasalnya, kebijakan hanya menyasar 10 persen dari total pekerja. 

Selain Tadjuddin, dalam kesempatan konferensi pers virtual, Kamis (6/8/2020), Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai BLT untuk pekerja berupah Rp 5 juta ini akan sia-sia. Ia mengatakan alih-alih untuk konsumsi, BLT malah akan disimpan untuk keperluan mendesak di masa depan. 

Hal itu disebabkan kemampuan finansial para pekerja masih memadai. Dengan kata lain, salah sasaran. Maka, jika jadi simpanan untuk menghadapi resesi, tentu saja ekonomi akan mandek atau stagnan. (tirto.id, 9/8/2020)

Kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah ini disampaikan pula oleh Ketum Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I), Titi Purwaningsih yang mengaku bingung melihat berbagai kebijakan pemerintah. Karena, masalah 51 ribu PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) hasil seleksi Februari 2019 saja tidak selesai. 

Kini, pemerintah menjanjikan BLT kepada 13 juta pekerja bergaji di bawah Rp5.000.000 per bulan. Dengan begitu lantang ia mengatakan, pemerintah harusnya malu kepada 51 ribu PPPK. Para PPPK dari jalur honorer K2 itu sudah dinyatakan lulus pada April 2019 tetapi sampai sekarang belum diangkat. Ia heran karena mau angkat PPPK pemerintah bilang tidak ada duit. Tapi, sekarang malah mau gelontorkan Rp33,1 triliun untuk BLT pegawai swasta. Lalu, kami dianggap apa, sih?” ucapnya. (mediaonline.co.id, 7/8/2020)
Bantuan: Hak Rakyat dan Kewajiban Pemerintah

Islam menggariskan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah kewajiban pemerintah untuk menjaminnya. Dalam soal pangan, jaminan negara berupa pemastian bahwa setiap individu rakyat mampu memenuhi kebutuhan pangan tersebut secara layak. 

Mekanisme langsung diberikan melalui pemberian bantuan kepada kelompok masyarakat yang faktanya kesulitan mendapat bahan pangan karena tidak ada penghasilan atau tidak cukup dana (fakir miskin) atau juga ketika harga sedang tidak stabil akibat pasokan kurang. 

Pemerintah wajib memberikan bantuan dan melakukan operasi pasar tanpa mekanisme berbelit. Dalam kondisi wabah di masa Khalifah Umar RA terdata 70 ribu orang membutuhkan makanan dan 30 ribu warga sakit. Semua diperlakukan sebagai warga negara yang berhak mendapatkan haknya dari negara, tanpa direndahkan dan disengsarakan dengan mekanisme berbelit.

Khalifah terus mencari tahu apakah masih ada orang yang berhak yang tidak terdata atau bahkan mereka tidak mau menunjukkan kekurangannya. Sebab, membiarkan ada yang miskin dan tidak mendapat bantuan karena mereka tidak mengajukan diri adalah juga bagian dari kelalaian pemerintah.

Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta-minta) karena ia memelihara dirinya dari perbuatan itu.” (QS Adz Dzariyat:19)
Pada sisi lain, dalam sistem Islam, setiap orang diperintahkan menjaga dirinya dengan sifat-sifat mulia termasuk menjaga diri dari meminta-minta. Ketika pemimpin (Khalifah) memahami ini, mereka akan mencari orang-orang yang berkebutuhan untuk bisa memberikan bantuan karena itu merupakan kewajiban negara. 

Bukan melalui mekanisme dalam sistem kapitalisme seperti saat ini, di mana untuk mendapatkan haknya dari negara, rakyat harus menyengsarakan diri dengan proses ribet dan seolah harus memberi imbalan kepada penguasa yang “menolongnya” dengan memilihnya kembali sebagai penguasa. Inilah yang terjadi jika rakyat hidup dalam pengurusan bukan dengan sistem Islam. 

Kehidupan yang adil dan sejahtera menjadi barang mewah yang sulit didapatkan. Wallahu’alam bishsshawab

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar yang sopan, dilarang berkomentar rasis, kotor, porno yg dapat memicu keadaan menjadi ribut oke
thanks ^_^

 
Top
/* Pengunci navbar*/